Jumat, 23 Desember 2011

Filsafat Ilmu


PARADIGMA CRITICAL THEORY

(Studi Atas Pemikiran Para Tokoh Mazhab Frankfurt)

 

Ismuha Lutfiyah

PAI Tarbiyah STAIN Kediri



A.    Pendahuluan
Mazhab Frankfrut adalah gerakan intelektual yang dilakukan secara multidisipliner oleh sekelompok intelektual Jerman yang memusatkan kegiatan mereka di kota Frankfrut Jerman. Pada tahun 1923 para intelektual Jerman tersebut mendirikan Institut Sosial (Institut fur Socialforschung), sebuah lembaga otonom yang bertempat di Universitas Frankfrut. Institut tersebut melahirkan nama-nama besar seperti  Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Alfred Sohn-Rethel, Leo Löwenthal, Franz Neumann, Franz Oppenheimer, Friedrich Pollock, Erich Fromm, Alfred Schmidt, Jürgen Habermas, Oskar Negt, Karl A. Wittfogel, Susan Buck-Morss, dan Axel Honneth.[1]
Critical Theory Mazhab Frankfrut mempunyai semangat intelektual yang sama, yakni mengangkat kembali tradisi kritis yang sudah mulai memudar sejak pelembagaan Marxisme dalam negara komunis Uni Sovyet. Mazhab Frankfrut menjadi terkenal karena anggotanya sangat gemar melemparkan kritik-kritik tajam terutama terhadap ideologi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.[2]

B.     Latar Belakang Pemikiran
Mazhab Frankfrut mengembangkan suatu teori yang dinamakan teori kritis. Teori kritis bukan sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Menurut mereka haruslah memenuhi tiga syarat: Pertama, bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti yang telah dilakukan pendahulu mereka: Karl Marx terhadap sistem kapitalisme; Kedua, berfikir secara historis, berpijak kepada masyarakat dalam prosesnya yang ‘historis’; Tiga, tidak memisahkan teori dan praktis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil objektif.[3]
Teori kritis selalu menolak untuk terjebak menjadi teori tradisional.[4] Para filsuf Frankfrut berusaha membedakan teori kritis mereka yang emansipatoris dengan teori tradisional yang afirmatif dan pro status quo (anti perubahan). Teori tradisional dipahami sebagai perumusan prinsip-prinsip umum dan final dalam melukiskan dan menafsirkan kenyataan. Teori tradisional memisahkan fakta dari nilai-nilai dan berusaha mendapatkan hukum-hukum objektif tentang realitas. Teori tradisional bersifat informative dan afirmatif terhadap kenyataan yang ada. Teori kritis, dilain pihak, tidak berurusan dengan hukum-hukum objektif, prinsip-prinsip umum, melainkan usaha penyadaran manusia dari irasionalisme yang melekat pada proyek pencerahan (aufklarung).
Pemikiran mazhab Frankfrut tidak jatuh dari langit, pemikiran mereka dilatarbelakangi tradisi kritis yang intens mulai dari Kant[5], Hegel, Marx, dan Frued. Teori kritis yang mereka kembangkan merupakan perpaduan yang ‘apik’ antara Hegel, Marx, dan psikoanalisis Frued. Ketiga pemikiran kritis tersebut memahami kata ‘kritik’ secara berbeda. Hegel memahami kritik sebagai refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian Kiri, memahami kritik sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Sigmund Frued memahami kritik sebagai pembebasan individu dari irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.[6]

C.    Memahami Critical Theory
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari mazhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis[7].
1.      Asumsi Dasar Pemikiran Critical Theory :
a.       “Karakteristik” manusia tidaklah tetap dan esensial, tetapi dibentuk oleh berbagai kondisi sosial yang ada pada periode waktu tertentu.
b.      Seorang individu (subjek) bisa dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tertentu yang bisa dikatakan, memiliki kepentingan-kepentingan konkret.
c.       Tidak ada yang disebut ‘fakta-fakta’ tentang dunia. Nilai-nilai kita mempengaruhi berbagai penafsiran dan penjelasan kita mengenai dunia.
d.      Pengetahuan erat hubungannya dengan kepentingan dan emansipasi manusia.
e.       Meskipun berbeda-beda misalnya, ras, etnisitas, gender, kelas-semua umat manusia sama-sama berupaya mencapai emansipasi. Jadi, teori kritis merupakan suatu doktrin orang-orang universalis[8].
2.      Penyebab Munculnya Critical Theory :
a.       Kekecewaan terhadap situasi masyarakat pasca kapitalisme di Eropa. Tidak ada perkembangan ilmu pengetahuan setelah masa ini.
b.      Kekecawaan terhadap ide Marxisme yang dibakukan menjadi komunisme yang dikuasai oleh partai komunisme (Lenin dan Stalin). Padahal seharusnya ilmu pengetahuan itu harus berkembang. Komunisme bergelut pada deterministic ekonomi[9] dimana kaum komunis melihat segala sesuatunya berujung pangkal pada perekonomian tanpa melihat sudut, sisi, bidang, ataupun aspek lain, kemudian kapitalisme akan runtuh ketika buruh menang dan sosialisme akan datang.  Deterministic ekonomi inilah yang tidak diterima oleh teoritisi kritis seolah-olah filsafat, sosiologi, dan yang lainnya tidak penting.
3.      Ciri-Ciri Critical Theory :
a.       Ide atau teori itu harus bersifat emansipatif tidak hanya menginterpretasikan, namun juga membebaskan atau mengubah situasi.
b.      Selalu curiga, mencari dark side of another theory yang tidak diungkapkan oleh teori itu sendiri.
c.       Menilai bahwa teori lain (liberalis, realis, dan lainnya) selalu mengandaikan bahwa kebenaran di luar sana bersifat absolute positivis.
d.      Ilmu dipengaruhi latar belakang maupun sejarah orang yang merekonstruksinya dimana ideologi itu dibentuk oleh individu yang terbatas dalam memahami realitas dan amat terpengaruhi oleh latar belakang dan lingkungannya.
e.       Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktek. Ilmu tidak bisa bebas nilai. Teori harus bisa menjelaskan nilai, maksud, dan keberpihakannya[10].
f.       Teori kritis mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan harus lewat kritik. Bahwa pemikiran besar tidak pernah final, bisa mendekati kebenaran tapi tidak bisa menjadi kebenaran.
g.      Teori kritis menganggap bahwa kaum positivis menggunakan akal untuk membentuk ilmu final, sedangkan teori kritis mengharuskan akal menjadi kritis.
4.      Perkembangan Critical Theory Mazhab Frankfurt
Secara garis besar perkembangan mazhab Frankfrut dibagi menjadi empat periode[11]:
a.       1923-1933, formasi awal mahzab Frankfrut, dimana studi-studi yang dilakukan masih berkarakter empiristik. Sekolah dipimpin oleh seorang ekonom, sejarawan Carl Gurenberg.



b.      1933-1950, periode pengasingan di Amerika serikat, di bawah pimpinan Horkhaimer sekolah berorientasi pada teori kritis Neohegelian.
c.       1950-1970, para filsuf Frankfrut kembali dari pengasingan dan banyak berpengaruh pada wacana pemikiran di Jerman. Pada periode ini pengaruh aliran Frankfrut memunculkan gerakan New left yang dijalankan oleh para mahasiswa radikal.
d.      1970-sekarang, pengaruh aliran Frankfrut mulai menurun, terutama setelah keretakan mereka dengan para mahasiswa yang menginginkan perubahan radikal dan total. Kebuntuan intelektual yang disebabkan oleh dominasi sistem yang amat total juga menyebabkan penurunan tersebut. Kebuntuan tersebut kemudian dicoba dipecahkan oleh Jurgen Habermas, yang dikenal sebagai generasi kedua aliran Frankfrut.
Teori kritis yang berorientasi pada emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung[12]. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Teori kritis adalah perangkat nalar yang jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis-dalam arti tradisional-yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.

D.    Kritik Ideologi
Teori kritis sebagai kritik ideologi bertitik tolak dari ideologi Marx tentang ideologi[13]. Marx memahami ideologi sebagai sistem kepercayaan, presuposisi, atau sentiment yang terkait dengan persepsi sesat tentang realitas. Marx mengajukan teorinya sebagai sains untuk membongkar kebobrokan ideologi kapitalisme di balik klaim rasionalitas. Pembongkaran ideologi kapitalisme oleh Marx menandai suatu pemikiran baru terhadap ideologi.
Teori Marx demikian dahsyat pengaruhnya di daratan Eropa dan memuncak pada dilembagakannya teori tersebut menjadi sebuah negara komunis Uni Sovyet pada tahun 1919. Setelah teori Marx menjadi sebuah negara yang notabene birokratis-hierarkis, maka apa yang ditakutkan para pemikir Frankfrut pun terjadi. Marxisme menjadi dogma negara yang harus dipatuhi dan ditegakkan tanpa boleh dikritisi sedikit pun. Materialisme dialektis disakralisasikan dan dianggap mampu menyelesaikan semua masalah. Marxisme pendeknya telah berubah dari teori yang bersifat emansipatoris menjadi teori objektif yang melandaskan dirinya pada determinisme ekonomi dan menempatkan manusia semata-mata sebagai objek dialektika sejarah. Teori yang pada awalnya merupakan reaksi keras terhadap kapitalisme dan berusaha membebaskan kaum proletar dari ketertindasannya, telah berubah manjadi teori yang afirmatif tidak lagi revolusioner.
Marx terlalu optimis dalam melihat manusia. Ia masih mewarisi pandangan romantisme Rousseau terhadap manusia. Ia mengasumsikan bahwa kebaikan manusia secara ilmiah akan muncul sesudah ia dibebaskan dari belenggu-belenggu ekonomi (infrastruktur) yang selama ini melumpuhkannya. Pendeknya, apabila alat-alat produksi telah diambil alih oleh proletar, maka masyarakat tanpa kelas yang rasional hanya sekedar menunggu waktu. Erich Fromm dalam bukunya “The Sane Society” mengemukakan tiga kesalahan Marx yang paling berbahaya :
1.      Marx mengesampingkan faktor moral dalam manusia, karena ia mengasumsikan kebaikan manusia akan tampil dengan sendirinya secara otomatis dikala perubahan-perubahan ekonomis telah tercapai. Marx tidak memberi perhatian pada suatu perlunya orientasi moral yang baru, secara tak langsung pun tidak, padahal tanpa itu semua perubahan ekonomi dan politik akan sia-sia saja.
2.      Marx salah menilai tentang kemungkinan-kemungkinan perwujudan sosialisme. Marx dan Engels sangat yakin akan datangnya ‘masyarakat ideal’ tanpa menyadari kemungkinan-kemungkinan suatu barbarisme baru dalam bentuk otoritarianisme komunis dan fasis.
3.      Marx mengatakan bahwa sosialisasi alat-alat produksi tidak hanya merupakan hal yang perlu tetapi juga merupakan hal yang cukup untuk perubahan masyarakat dari kapitalisme dan sosialisme. Marx terlalu deterministic dalam memandang prilaku manusia. Ia tidak memperhatikan kekuatan-kekuatan irasional dan nafsu-nafsu merusak diri manusia yang tidak ikut berubah mengikuti perubahan ekonomi.
Sebagai kesimpulan ideologi seperti halnya teori-teori lainnya hanyalah tafsiran manusia terhadap realitas yang kemudian dijadikan tata prilaku yang dilegalisasi oleh kekuasaan[14]. Sebuah tafsiran terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Tafsiran manusia cenderung membekukan, sedang realitas terus bergerak seiring perkembangan zaman. Sebuah teori tidaklah bisa berpretensi menjadi grand teory yang mampu menjelaskan segala-galanya. Ia harus tetap terbuka pada penafsiran-penafsiran baru supaya tidak menjadi reified.
Preses pemaknaan ideologi yang dibekukan, dimapankan oleh kekuasaan, merupakan sasaran kritik para filsuf mazhab Frankfrut. Teori kritis selalu melihat ideologi dari kacamata dialektika dan psikoanalisis. Ideologi merupakan proses dialektika dimana proses kritis harus tetap berlangsung, supaya ia tidak berubah menjadi alat pembenaran status quo saja. Teori kritis mengintegrasikan dirinya dengan psikoanalisis untuk menghadapi ketidaksadaran kolektif yang berkembang dimasyarakat kapitalisme modern dan mengangkatnya ke kesadaran. Psikoanalisis, dalam hal ini Freudian, menyediakan diri sebagai instrument yang tepat untuk mengungkap semua kepentingan, irasionalitas yang melatarbelakangi suatu ideologi.

E.     Kritik Terhadap Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang sangat perfasiv pada awal abad 20. Ia dikemukakan oleh seorang filsuf Prancis, August Comte. Ia mengatakan bahwa di masa modern ini ilmu pengetahuan, budaya, politik tidak lagi bisa didasarkan pada teologi dan metafisika. Kehidupan manusia haruslah berlandaskan pada ilmu-ilmu positif yang bermetode verifikasi-empiris dan berbahasa logis-sistematis. Masyarakat yang rasional adalah masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok elite ilmuan yang terus meneliti masyarakat secara positivistic.
Positivisme kemudian menjadi model bagi ilmu-ilmu sosial yang memandang bahwa tujuan penelitian adalah merekonstruksi hukum-hukum kausal, yang bekerja dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test.
Teori kritis memandang positivisme sebagai biang keladi kemandegan proses pencerahan, yaitu tatkala teori-teori tidak lagi emansipatoris, melainkan hanya fiksasi realitas dan mereduksinya pada apa yang terukur. Teori kritis memandang positivisme sebagai aliran yang melangengkan status quo (keadaan statis masyarakat). Hal itu dikarenakan positivisme hanya bertujuan memaparkan fakta-fakta secara objektif dan mencari hukum-hukum kausalistik yang terdapat di dalam suatu masyarakat.
Positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity. Criteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah pada suatu tatanan masyarakat.
Ilmuwan-ilmuwan yang menganut positivisme secara ketat oleh aliran Frankfurt diberi sebutan mandarins. Mereka dapat didefinisikan sebagai: (a) intelektual teknis yang menggunakan keahlian mereka untuk mengabdi pada status quo; (b) sekelompok elite cultural yang memperoleh status sosial, terutama dari kualifikasi pendidikan, bukan dari hak bawaan atau kekayaan.
Pendidikan turut berperan dalam menciptakan para intelektual-intelektual mandarins. Sistem pendidikan telah mengembangkan cara berpikir rasional-purposif. Sebagai contoh dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi para guru menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa tujuan belajar adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang berguna untuk dijual. Manusia modern berkeyakinan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi nilar tukar.
Sebagai kesimpulan, positivisme yang berkembang demikian pervasif dan menguasai seluruh wacana ilmu pengetahuan, mulai dari alam sampai manusia, telah menjadi ideologi yang dogmatis. Sosiologi adalah contoh konkret bagaimana positivisme dijadikan landasan metodologis maupun epistemologis untuk menganalisa masyarakat[15].

F.     Kritik Terhadap Masyarakat Modern
Mazhab Frankfurt, terutama tokoh-tokohnya Horkhaimer, Adorno, dan Marcuse, melihat bahwa sejarah penindasan masih terus berlangsung bahkan di masa modern sekarang ini. Mereka melihat, dialektika pencerahan yang diawali dengan kebangkitan fajar budi dari belenggu mitos dan teologi telah berubah menjadi penindasan baru. Dialektika yang terjadi menurut mereka hanyalah dilihat dari sudut pandang positif (kemajuan iptek yang akan menghasilkan kesejahteraan dan kesempurnaan). Tetapi sejarah pencerahan telah terbalik kembali menjadi mitos baru yang membelenggu harkat dan martabat kemanusian. Perkembangan rasionalitas menurut mereka tidak lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan menjadi suatu dominasi rasio instrumental.
Kritik teori kritis terhadap masyarakat modern menghujam pada satu sasaran, yakni rasio instrumental. Rasio instrumental adalah rasio yang melihat realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total. Rasio instrumental memandang realitas (alam maupun manusia) sebagai objek untuk diklasifikasi, dikonseptualisasi, ditata secara efisien untuk tujuan apa pun yang dianggap penting oleh kekuasaan.[16]
Rasio instrumental, menurut Marcuse, telah mereduksi manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man), dimana semua aspek kehidupan manusia, seni, agama, ilmu pengetahuan, dan bahasa, direduksi pada kepentingan control teknis. Rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat menjadi rasional, melainkan hanya menyembunyikan irasionalitas dengan kepentingan menguasai (kehendak untuk berkuasa, Nietzsche).[17]
Masyarakat rasional menurut teori kritis adalah masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan. Bekerjanya rasio instrumental dalam masyarakat tidak pernah membawa kepada suatu rational ordering of society, melainkan bentuk-bentuk fasisme (kapitalisme, nazisme, dan komunisme).
Sebagai kesimpulan, sasaran kritik teori kritis terhadap masyarakat modern adalah rasio instrumental. Rasio instrumental telah menciptakan suatu sistem dominasi baru. Menurut Horkhaimer, “dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, namun saat ini indutrialisme dengan rasio teknokratisnya membendakan jiwa-jiwa.” Demitologisasi yang menjadi proyek pencerahan (aufklarung) lewat rasionalisasi di segala bidang telah gagal karena rasionalisme telah menjadi mitos baru.

G.    Kebuntuan dan Revisi Critical Theory
Kritik-kritik yang dilancarkan teori kritis mengalami kebuntuan. Domonasi yang terjadi telah demikian total, sehingga kritik-kritik terhadap kapitalisme bisa dikooptasi oleh kapitalisme itu sendiri. Kritik-kritik terhadap dominasi kapitalisme lanjut (spatkapitalismus) teori kritis pun telah gagal mendorong praksis perubahan kualitatif masyarakat modern. Hal ini mengundang usaha revisionis oleh seorang filsuf sosial bernama Jurgen Hebarmas[18], kesalahan teori kritis dikarenakan paradigma yang mereka anut masih paradigma Marx Hegelian tentang kerja sebagai pembentukan eksistensi manusia. Teori kritis gagal karena kapitalisme lanjut mampu dengan mudah meredam kritik-kritik mereka dengan menyediakan apa-apa yang mereka kritisi. Paradigma kerja yang menciptakan situasi subjek-objek juga tercermin dalam kepentingan emansipasi yang tidak tetap berpusat pada subjek (para pemikir Frankfrut) dan menempatkan masyarakat kapitalisme lanjut sebagai objek emansipasi. Hal-hal tersebut membuat mereka generasi pertama aliran Frankfrut) pesimis akan adanya secercah harapan untuk keluar dari sistem dominasi yang total tersebut.
Hebarmas masih melihat adanya secercah harapan untuk keluar dari domonasi total. Satu-satunya adalah melepaskan paradigma kerja yang dianut teori kritis generasi pertama dan mulai memperhatikan paradigma komunikasi. Komunikasi dan kerja adalah dua proses yang membentuk masyarakat dimana yang satu tidak bisa direduksi pada yang lain. Teori kritis generasi pertama yang masih berparadigma kerja telah gagal melanjutkan proyek pencerahan untuk mencapai masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan.   
Dalam paradigma komunikasi, situasi subjek objek bias dihindarkan. Komunikasi mengandaikan dua hal : Pertama, manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat, komunikasi berlainan dengan bekerja karena tidak menciptakan situasi subjek-objek. Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dapat dipaksakan. Komunikasi merupakan karakteristik universal manusia. Habermas mengembangkan apa yang disebutmya ‘universal pragmatic analisys’ untuk menganalisa kondisi-kondisi bagi situasi ideal komunikasi (ideal speech situation). Tujuan universal pragmatic adalah menjadi rekonstruksi rasional dari struktur ganda yang terdapat dalam ujaran:  muatan kognitif dan illocutionary act. Setiap ujaran tidak hanya semata-mata berfungsi informative, tetapi juga imperative (force).
Teori kritis Hebarmas tidak lagi memfokuskan diri pada tindakan rasional bertujuan, melainkan pada tindakan komunikasi alias bahasa. Masyarakat rasional yang diidealkan Habermas bukan lagi masyarakat tanpa kelas dimana hubungan kerja tidak lagi represif, melainkan masyarakat rasional dimana komunikasi berjalan sehat, dialogis, dan tidak distortif. Keseriusan Habermas untuk mewujudkan masyarakat terbuka-dialogis terbukti dengan diterbitkannya dua volume bukunya : “Theory Of Communicative Action[19].

H.    Implikasi dalam Ilmu/Teori dan Metodologi
 Implikasi dalam paradigma critical theory menerangkan bahwa teori kritis berangkat dari fenomena atau realitas sosial yang ada berdasarkan idealisme. Implikasi kritikal dapat di lihat dalam Cultural Studies (studi tentang budaya), dan studi tentang feminisme. Tujuan penelitian dengan pendekatan kritis sosial, emansipasi, transformatif, dan penguatan sosial. Pada paradigma ini posisi peneliti yaitu menempatkan diri sebagai aktivis, advokat, dan transformasi intelektual. Nilai, etika, pilihan moral bahkan keberpihakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari analisis. Cara penelitian adalah subjektif, dimana titik perhatian analisis justru terdapat pada penafsiran subjektif peneliti atas teks. Partisipasif yaitu mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis atau partisipan dalam transformasi sosial  Kriteria kualitas penelitian pada paradigma kritikal yaitu Historical Situadness, sejauh mana penelitian mamperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi, dan politik dari teks media.[20]

I.       Pandangan Kritis Terhadap Critical Theory
Teori kritis pada masa Jurgen Habermas disatu sisi secara ideal menawarkan demokratisasi opini publik dalam menuju rasionalitas komunikatif. Dalam masyarakat modern hal tersebut secara sederhana bisa diterima sebagai upaya dalam memperoleh kesetaraan melalui proses dialog dan diskursus sehingga pada satu titik menghasilkan juga konsep baru seperti demokrasi deliberatif. Akan tetapi dalam realitasnya ternyata tidak semudah itu. Ada beberapa argumen keberatan yang menjadi kritik terhadap teori kritis yang diusung oleh Habermas. Pertama, dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, proses komunikasi sudah berjalan dalam ranah hiperealitas sehingga bentuk rasionalitas komunikatif yang dibayangkan Habermas menjadi sulit diwujudkan. Masyarakat mampu bertindak irasional karena anonimitas yang terjadi dan identitas ditengah ruang publik menjadi sesuatu yang bersifat semu. Dalam model seperti ini yang terjadi adalah pemiskinan imajinasi sehingga sangat sulit untuk bisa menjadi rasional dan obyektif.
Kedua adalah, ruang publik dalam pemahaman masyarakat modern adalah ajang diskursus yang setara dan dialogis. Pada kenyataannya dialog yang terjadi didalam ruang publik yang nyata adalah sesuatu yang tidak setara dan tidak juga bersifat dialogis. Ini terjadi tidak saja di negara-negara berkembang melainkan juga di negara maju. Dominasi yang dibayangkan oleh generasi pertama teori kritis rupanya masih tetap terjadi. Alhasil, proses dialog yang macet menyebabkan publik tidak lagi memanfaatkan ruangnya secara nyata. Kemajuan teknologi seperti internet dan komunikasi virtual menjadi katarsis publik dalam menggelombangkan wacananya sebagai pembentukan opini yang tidak lagi bersifat dialogis tetapi menjadi tandingan terhadap kekuasaan.
Ketiga adalah, dengan demikian faktor teknologi yang menyebabkan pesimisme akan ketergantungan manusia terhadap sarana-sarana ekonomi seperti yang dibayangkan oleh generasi pertama teori kritis juga masih tetap terjadi. Disini dapat dilihat bahwa apa yang dikemukakan oleh Habermas masih belum dapat memberikan alternatif jawaban yang memuaskan mengingat perkembangan teori kritis masih harus berkompetisi dengan realitas masyarakat, terutama dari aspek kemajuan teknologi, perubahan dimensi ruang publik dan juga harapan terhadap rasionalitas komunikatif yang ideal bagi manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi jelas memberi kontribusi berupa akselerasi penerimaan dan juga cara manusia mengekspresikan kehendaknya. Ruang publik tidak lagi semata berkutat kepada masalah penggunaannya yang ideal tetapi juga bagaimana pergeseran dimensi dari sesuatu yang bersifat fisik menuju dunia maya juga menjadikan rasionalitas sebagai faktor yang tidak lagi dengan mudah dapat diperhitungkan. Sementara rasionalitas komunikatif yang dibayangkan Habermas dengan demikian menjadi jauh untuk bisa direalisasikan dengan mudah[21].

J.      Penutup
Kata kunci untuk paradigma critical theory adalah idealisme, dimana teori kritis selalu curiga dan mempertanyakan kondisi ”status quo” di masyarakat. Teori kritis memandang bahwa realitas sosial yang tampak baik dipermukaan adalah sesuatu yang semu, karena setiap realitas yang ada, terdapat unsur kepentingan kaum dominan dibelakangnya, dan pada akhirnya bertujuan untuk memanipulasi kenyataan yang ada pada realitas sosial di masyarakat.
Critical theory tidak melihat dirinya hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan kekuatan 'progresif' yang berkeinginan untuk 'menyatakan kebenaran'. Ketika lahirnya teori kritis, filsafat dialektika yang diterapkan Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah merupakan imajinasi dealiktis belaka. Oleh sebab itu, teori kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.
Dengan membaca sejarah mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan diperoleh adalah tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada kebenaran bagi seorang cendikiawan. Tak kurang dari itu, akan disadari pula betapa pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembleng seseorang hingga menjadi cendikia-cendikia.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran kontemporer : Sebuah pengantar komprehensif, Yogyakarta : Jalasutra, 2005.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Fay, Brian Terj. Budi Murdono, Teori Sosial & Praktek Politik, Jakarta: Grafiti, 1991.
Hardiman, Francisco Budi. Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005.
Mashfufah, Amdya, Teori Kritis (Critical Theory),  http://deedde.wordpress.com/2010/12
/17/teori-kritis-critical-theory/
Manurung, Hendra, Critical Theory, http://www.scribd.com/doc/4542836/ Critical-Theory
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu ; Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2004.
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996.
Suseno, Frans Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992,
---------- Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara, 1977.
Suhartono, Suparlan. Dasar-Dasar Filsafat, Yogyakarta : R-Ruzz Media group, 2008.
Srivanto, Fernando Rahadian, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal Mula Teori Kritis HinggaHabermas,http://scribd.asterpix.com/cy/2437661/?q=Filsafat+Ilmu+Critical+Theory
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Franfurt. Jakarta: Gramedia, 1983.


[1] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer: Sebuah pengantar komprehensif, (Yogyakarta : Jalasutra, 2005), 43.
[2] Latar belakang sejarah inilah yang menyatukan mereka ke dalam sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi sebuah mazhab, yakni Mazhab Frankfurt. Lihat, Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005), 57.
[3] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer, 46.
[4] Teori tradisional membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal, sebagaimana nampak dalam tujuannya yang diformulasikan a universal systematic science.Teori tradisional bersifat netral, teori tradisional tidak bermaksud mempengaruhi fakta yang hadir dihadapannya, sebab ia memang memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta lahiriah apa adanya. Horkheimer melalui teori memandang bahwa ke-netral-an teori tradisional sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada. Lihat: Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik Masya-rakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Franfurt. (Jakarta: Gramedia, 1983), 73.
[5] Immanuel Kant, seorang filsuf kebanggann Jerman (1724-1804), mencoba mengatasi pertikian antara rasionalisme dan empirisme. Lihat, Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta : R-Ruzz Media group, 2008), 113.
[6] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer, 47.
[7] Teori kritis memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik ideology. Lihat: Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 10.
[8] Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa teori kritis kebenarannya sangat tergantung bagaimana diterjemahkan dalam praktek. Lihat: Brian Fay, Terj. Budi Murdono, Teori Sosial & Praktek Politik, (Jakarta: Grafiti, 1991), 108.
[9] Bukan kebutuhan nyata manusia yang menentukan proses produksi, melainkan kebutuh-an sendiri diciptakan supaya hasil produksi bisa laku atau produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan, dimanipulasi demi produksi. Lihat: Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius 1992),166.
[10] Mengenai bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya. Lihat: Ibid., 183.
[11] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer, 45.
[12] Teori kritis bersifat aktif dalam menciptakan makna, bukan hanya sekedar pasif menerima makna atas dasar perannya pada teori konfli. Lihat: Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), 82.
[13] Menurut Marx, ideologi itu adalah ilusi atau kesadaran yang palsu. Ideologi tidak menggambarkan situasi nyata mnusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan kenyataan yang terdistorsi. Bukan artinya bahwa ideologi keliru menggambarkan kenyataan, tapi bahwa ideologi menggambarkan kenyataan dan interpretasi yang dibalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dikatakan dan diusahakan sedemikian rupa sehingga tampak baik dan wajar. . Lihat, Fernando Rahadian Srivanto, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal mula teori kritis hingga habermas, http://scribd.asterpix.com /cy/2437661/?q=Filsafat+ Ilmu+Critical+Theory
[14] Ideologi itu berusaha memanipulasi kenyataan yang ada atau realitas sosial yang ada di masyarakat Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, 85.
[15] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, 51-54.
[16] Ibid., 54.
[17] Pandangan manusia satu dimensi ini lebih banyak direfleksikan oleh Herbert Marcuse. Menurutnya, masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat satu dimensi bersifat represif dan totaliter. Artinya manusia modern tidak bisa lepas dari penguasaan kapitalisme dan peraturan logika kapitalistik. Lihat: Manurung Hendra, http://scribd.asterpix.com/cy/2437661 /?q=Filsafat+Ilmu+Critical+
Theory
[18] Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasar-kan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam. Kedua, kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan. Lihat: Frans Magnis Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara, 1977), 123.
[19] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, 59-60.
[20] Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi,  177.
[21] Fernando Rahadian Srivanto, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal Mula Teori Kritis Hingga Habermas, http://scribd.asterpix.com/cy/2437661/?q=Filsafat+Ilmu+Critical+Theory

Tidak ada komentar:

Posting Komentar