PARADIGMA CRITICAL THEORY
(Studi Atas Pemikiran Para Tokoh Mazhab Frankfurt)
Ismuha Lutfiyah
PAI Tarbiyah STAIN Kediri
A. Pendahuluan
Mazhab Frankfrut adalah
gerakan intelektual yang dilakukan secara multidisipliner oleh sekelompok
intelektual Jerman yang memusatkan kegiatan mereka di kota Frankfrut Jerman. Pada tahun 1923 para
intelektual Jerman tersebut mendirikan Institut Sosial (Institut fur Socialforschung), sebuah lembaga otonom yang bertempat
di Universitas Frankfrut. Institut tersebut melahirkan nama-nama besar
seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Alfred Sohn-Rethel, Leo Löwenthal, Franz Neumann, Franz Oppenheimer, Friedrich Pollock, Erich Fromm, Alfred Schmidt, Jürgen
Habermas, Oskar Negt, Karl A. Wittfogel, Susan Buck-Morss, dan Axel Honneth.[1]
Critical Theory Mazhab
Frankfrut mempunyai semangat intelektual yang sama, yakni mengangkat kembali
tradisi kritis yang sudah mulai memudar sejak pelembagaan Marxisme dalam negara
komunis Uni Sovyet. Mazhab Frankfrut menjadi terkenal karena anggotanya sangat
gemar melemparkan kritik-kritik tajam terutama terhadap ideologi, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.[2]
B. Latar Belakang Pemikiran
Mazhab Frankfrut
mengembangkan suatu teori yang dinamakan teori kritis. Teori kritis bukan
sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas, melainkan bersifat
emansipatoris. Menurut mereka
haruslah memenuhi tiga syarat: Pertama,
bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti yang telah dilakukan
pendahulu mereka: Karl Marx terhadap sistem kapitalisme; Kedua, berfikir secara historis, berpijak kepada masyarakat dalam
prosesnya yang ‘historis’; Tiga, tidak
memisahkan teori dan praktis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata
untuk mendapatkan hasil objektif.[3]
Teori kritis selalu
menolak untuk terjebak menjadi teori tradisional.[4]
Para filsuf Frankfrut berusaha membedakan
teori kritis mereka yang emansipatoris
dengan teori tradisional yang afirmatif
dan pro status quo (anti perubahan).
Teori tradisional dipahami sebagai perumusan prinsip-prinsip umum dan final
dalam melukiskan dan menafsirkan kenyataan. Teori tradisional memisahkan fakta
dari nilai-nilai dan berusaha mendapatkan hukum-hukum objektif tentang
realitas. Teori tradisional bersifat informative
dan afirmatif terhadap kenyataan yang
ada. Teori kritis, dilain pihak, tidak berurusan dengan hukum-hukum objektif,
prinsip-prinsip umum, melainkan usaha penyadaran manusia dari irasionalisme
yang melekat pada proyek pencerahan (aufklarung).
Pemikiran mazhab Frankfrut
tidak jatuh dari langit, pemikiran mereka dilatarbelakangi tradisi kritis yang
intens mulai dari Kant[5],
Hegel, Marx, dan Frued. Teori kritis yang mereka kembangkan merupakan perpaduan
yang ‘apik’ antara Hegel, Marx, dan psikoanalisis Frued. Ketiga pemikiran
kritis tersebut memahami kata ‘kritik’ secara berbeda. Hegel memahami kritik
sebagai refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan,
dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio
dalam sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian Kiri, memahami kritik sebagai
usaha-usaha emansipatoris dari
penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam
masyarakat. Sigmund Frued memahami kritik sebagai pembebasan individu dari
irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.[6]
C. Memahami Critical Theory
Menurut kamus ilmiah
populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau
memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori
yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.
Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari mazhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan
produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi
oleh kalangan neo-marxis Jerman. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan
kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap
deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri
kebudayaan, dan institusi politik borjuis[7].
1.
Asumsi Dasar Pemikiran
Critical Theory :
a.
“Karakteristik” manusia
tidaklah tetap dan esensial, tetapi dibentuk oleh berbagai kondisi sosial yang
ada pada periode waktu tertentu.
b.
Seorang individu (subjek) bisa
dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tertentu yang bisa dikatakan, memiliki
kepentingan-kepentingan konkret.
c.
Tidak ada yang disebut
‘fakta-fakta’ tentang dunia. Nilai-nilai kita mempengaruhi berbagai penafsiran
dan penjelasan kita mengenai dunia.
d.
Pengetahuan erat hubungannya
dengan kepentingan dan emansipasi manusia.
e.
Meskipun berbeda-beda misalnya,
ras, etnisitas, gender, kelas-semua umat manusia sama-sama berupaya mencapai
emansipasi. Jadi, teori kritis merupakan suatu doktrin orang-orang universalis[8].
2.
Penyebab Munculnya Critical Theory
:
a.
Kekecewaan terhadap situasi
masyarakat pasca kapitalisme di Eropa. Tidak ada perkembangan ilmu pengetahuan
setelah masa ini.
b.
Kekecawaan terhadap ide
Marxisme yang dibakukan menjadi komunisme yang dikuasai oleh partai komunisme
(Lenin dan Stalin). Padahal seharusnya ilmu pengetahuan itu harus berkembang.
Komunisme bergelut pada deterministic ekonomi[9]
dimana kaum komunis melihat segala sesuatunya berujung pangkal pada
perekonomian tanpa melihat sudut, sisi, bidang, ataupun aspek lain, kemudian
kapitalisme akan runtuh ketika buruh menang dan sosialisme akan datang.
Deterministic ekonomi inilah yang tidak diterima oleh teoritisi kritis
seolah-olah filsafat, sosiologi, dan yang lainnya tidak penting.
3.
Ciri-Ciri Critical Theory
:
a.
Ide atau teori itu harus
bersifat emansipatif tidak hanya
menginterpretasikan, namun juga membebaskan atau mengubah situasi.
b.
Selalu curiga, mencari dark
side of another theory yang tidak diungkapkan oleh teori itu sendiri.
c.
Menilai bahwa teori lain
(liberalis, realis, dan lainnya) selalu mengandaikan bahwa kebenaran di luar sana bersifat absolute positivis.
d.
Ilmu dipengaruhi latar belakang
maupun sejarah orang yang merekonstruksinya dimana ideologi itu dibentuk oleh
individu yang terbatas dalam memahami realitas dan amat terpengaruhi oleh latar
belakang dan lingkungannya.
e.
Teori kritis tidak memisahkan
teori dan praktek. Ilmu tidak bisa bebas nilai. Teori harus bisa menjelaskan
nilai, maksud, dan keberpihakannya[10].
f.
Teori kritis mengatakan bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan harus lewat kritik. Bahwa pemikiran besar tidak
pernah final, bisa mendekati kebenaran tapi tidak bisa menjadi kebenaran.
g.
Teori kritis menganggap bahwa
kaum positivis menggunakan akal untuk membentuk ilmu final, sedangkan teori
kritis mengharuskan akal menjadi kritis.
4.
Perkembangan Critical Theory
Mazhab Frankfurt
Secara garis besar perkembangan
mazhab Frankfrut dibagi menjadi empat periode[11]:
a.
1923-1933, formasi awal mahzab
Frankfrut, dimana studi-studi yang dilakukan masih berkarakter empiristik. Sekolah
dipimpin oleh seorang ekonom, sejarawan Carl Gurenberg.
b.
1933-1950, periode pengasingan
di Amerika serikat, di bawah pimpinan Horkhaimer sekolah berorientasi pada
teori kritis Neohegelian.
c.
1950-1970, para filsuf Frankfrut
kembali dari pengasingan dan banyak berpengaruh pada wacana pemikiran di Jerman.
Pada periode ini pengaruh aliran Frankfrut memunculkan gerakan New left yang dijalankan oleh para
mahasiswa radikal.
d.
1970-sekarang, pengaruh aliran
Frankfrut mulai menurun, terutama setelah keretakan mereka dengan para
mahasiswa yang menginginkan perubahan radikal dan total. Kebuntuan intelektual yang
disebabkan oleh dominasi sistem yang amat total juga menyebabkan penurunan
tersebut. Kebuntuan tersebut kemudian dicoba dipecahkan oleh Jurgen Habermas, yang
dikenal sebagai generasi kedua aliran Frankfrut.
Teori kritis yang
berorientasi pada emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim
filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi
sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari
hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal
ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung
pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan
kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan
beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman
yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan
dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah
sesuatu yang alamiah dan langsung[12].
Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah
seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan
pengalaman manusia.
Teori kritis adalah
perangkat nalar yang jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah mampu merubah
dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan
”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal
dari Hegel dalam Phenomenology of Spirit,
mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang melalui proses refleksi-diri,
mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel
menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa
sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi.
Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara
teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori.
Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis-dalam arti
tradisional-yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam
bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
D. Kritik Ideologi
Teori kritis sebagai
kritik ideologi bertitik tolak dari ideologi Marx tentang ideologi[13].
Marx memahami ideologi sebagai sistem kepercayaan, presuposisi, atau sentiment
yang terkait dengan persepsi sesat tentang realitas. Marx mengajukan teorinya
sebagai sains untuk membongkar kebobrokan ideologi kapitalisme di balik klaim
rasionalitas. Pembongkaran ideologi kapitalisme oleh Marx menandai suatu
pemikiran baru terhadap ideologi.
Teori Marx demikian
dahsyat pengaruhnya di daratan Eropa dan memuncak pada dilembagakannya teori
tersebut menjadi sebuah negara komunis Uni Sovyet pada tahun 1919. Setelah
teori Marx menjadi sebuah negara yang notabene birokratis-hierarkis, maka apa yang ditakutkan para pemikir
Frankfrut pun terjadi. Marxisme menjadi dogma negara yang harus dipatuhi dan
ditegakkan tanpa boleh dikritisi sedikit pun. Materialisme dialektis
disakralisasikan dan dianggap mampu menyelesaikan semua masalah. Marxisme pendeknya
telah berubah dari teori yang bersifat emansipatoris
menjadi teori objektif yang melandaskan dirinya pada determinisme ekonomi
dan menempatkan manusia semata-mata sebagai objek dialektika sejarah. Teori
yang pada awalnya merupakan reaksi keras terhadap kapitalisme dan berusaha
membebaskan kaum proletar dari ketertindasannya, telah berubah manjadi teori
yang afirmatif tidak lagi revolusioner.
Marx terlalu optimis dalam
melihat manusia. Ia masih mewarisi pandangan romantisme Rousseau terhadap
manusia. Ia mengasumsikan bahwa kebaikan manusia secara ilmiah akan muncul
sesudah ia dibebaskan dari belenggu-belenggu ekonomi (infrastruktur) yang
selama ini melumpuhkannya. Pendeknya, apabila alat-alat produksi telah diambil
alih oleh proletar, maka masyarakat tanpa kelas yang rasional hanya sekedar
menunggu waktu. Erich Fromm dalam bukunya “The
Sane Society” mengemukakan tiga kesalahan Marx yang paling berbahaya :
1.
Marx mengesampingkan faktor
moral dalam manusia, karena ia mengasumsikan kebaikan manusia akan tampil
dengan sendirinya secara otomatis dikala perubahan-perubahan ekonomis telah
tercapai. Marx tidak memberi perhatian pada suatu perlunya orientasi moral yang
baru, secara tak langsung pun tidak, padahal tanpa itu semua perubahan ekonomi
dan politik akan sia-sia saja.
2.
Marx salah menilai tentang
kemungkinan-kemungkinan perwujudan sosialisme. Marx dan Engels sangat yakin
akan datangnya ‘masyarakat ideal’ tanpa menyadari kemungkinan-kemungkinan suatu
barbarisme baru dalam bentuk otoritarianisme komunis dan fasis.
3.
Marx mengatakan bahwa
sosialisasi alat-alat produksi tidak hanya merupakan hal yang perlu tetapi juga
merupakan hal yang cukup untuk perubahan masyarakat dari kapitalisme dan
sosialisme. Marx terlalu deterministic dalam memandang prilaku manusia. Ia tidak
memperhatikan kekuatan-kekuatan irasional dan nafsu-nafsu merusak diri manusia
yang tidak ikut berubah mengikuti perubahan ekonomi.
Sebagai kesimpulan
ideologi seperti halnya teori-teori lainnya hanyalah tafsiran manusia terhadap
realitas yang kemudian dijadikan tata prilaku yang dilegalisasi oleh kekuasaan[14].
Sebuah tafsiran terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Tafsiran
manusia cenderung membekukan, sedang realitas terus bergerak seiring
perkembangan zaman. Sebuah teori tidaklah bisa berpretensi menjadi grand teory yang mampu menjelaskan
segala-galanya. Ia harus tetap terbuka pada penafsiran-penafsiran baru supaya
tidak menjadi reified.
Preses pemaknaan ideologi
yang dibekukan, dimapankan oleh kekuasaan, merupakan sasaran kritik para filsuf
mazhab Frankfrut. Teori kritis selalu melihat ideologi dari kacamata dialektika
dan psikoanalisis. Ideologi merupakan proses dialektika dimana proses kritis
harus tetap berlangsung, supaya ia tidak berubah menjadi alat pembenaran status quo saja. Teori kritis
mengintegrasikan dirinya dengan psikoanalisis untuk menghadapi ketidaksadaran
kolektif yang berkembang dimasyarakat kapitalisme modern dan mengangkatnya ke
kesadaran. Psikoanalisis, dalam hal ini Freudian, menyediakan diri sebagai
instrument yang tepat untuk mengungkap semua kepentingan, irasionalitas yang
melatarbelakangi suatu ideologi.
E. Kritik Terhadap
Positivisme
Positivisme merupakan
aliran filsafat yang berkembang sangat perfasiv
pada awal abad 20. Ia dikemukakan oleh seorang filsuf Prancis, August
Comte. Ia mengatakan bahwa di masa modern ini ilmu pengetahuan, budaya, politik
tidak lagi bisa didasarkan pada teologi dan metafisika. Kehidupan manusia
haruslah berlandaskan pada ilmu-ilmu positif yang bermetode verifikasi-empiris dan berbahasa logis-sistematis. Masyarakat yang
rasional adalah masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok elite ilmuan yang
terus meneliti masyarakat secara positivistic.
Positivisme kemudian menjadi
model bagi ilmu-ilmu sosial yang memandang bahwa tujuan penelitian adalah merekonstruksi
hukum-hukum kausal, yang bekerja dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa
diverifikasi melalui empirical test.
Teori kritis memandang
positivisme sebagai biang keladi kemandegan proses pencerahan, yaitu tatkala
teori-teori tidak lagi emansipatoris,
melainkan hanya fiksasi realitas dan
mereduksinya pada apa yang terukur. Teori kritis memandang positivisme sebagai
aliran yang melangengkan status quo
(keadaan statis masyarakat). Hal itu dikarenakan positivisme hanya bertujuan
memaparkan fakta-fakta secara objektif dan mencari hukum-hukum kausalistik yang
terdapat di dalam suatu masyarakat.
Positivisme membimbing
pelaku sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity. Criteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan
tidak mampu melihat sesuatu yang salah pada suatu tatanan masyarakat.
Ilmuwan-ilmuwan yang
menganut positivisme secara ketat oleh aliran Frankfurt
diberi sebutan mandarins. Mereka
dapat didefinisikan sebagai: (a) intelektual teknis yang menggunakan keahlian
mereka untuk mengabdi pada status quo;
(b) sekelompok elite cultural yang
memperoleh status sosial, terutama dari kualifikasi pendidikan, bukan dari hak
bawaan atau kekayaan.
Pendidikan turut berperan
dalam menciptakan para intelektual-intelektual mandarins. Sistem pendidikan telah mengembangkan cara berpikir rasional-purposif. Sebagai contoh dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi para guru menanamkan keyakinan yang
mendalam bahwa tujuan belajar adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang berguna untuk dijual. Manusia modern berkeyakinan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin tinggi nilar tukar.
Sebagai kesimpulan,
positivisme yang berkembang demikian pervasif
dan menguasai seluruh wacana ilmu pengetahuan, mulai dari alam sampai manusia,
telah menjadi ideologi yang dogmatis.
Sosiologi adalah contoh konkret bagaimana positivisme dijadikan landasan metodologis maupun epistemologis untuk menganalisa masyarakat[15].
F. Kritik Terhadap Masyarakat
Modern
Mazhab Frankfurt, terutama
tokoh-tokohnya Horkhaimer, Adorno, dan Marcuse, melihat bahwa sejarah
penindasan masih terus berlangsung bahkan di masa modern sekarang ini. Mereka
melihat, dialektika pencerahan yang diawali dengan kebangkitan fajar budi dari
belenggu mitos dan teologi telah berubah menjadi penindasan baru. Dialektika
yang terjadi menurut mereka hanyalah dilihat dari sudut pandang positif
(kemajuan iptek yang akan menghasilkan kesejahteraan dan kesempurnaan). Tetapi
sejarah pencerahan telah terbalik kembali menjadi mitos baru yang membelenggu
harkat dan martabat kemanusian. Perkembangan rasionalitas menurut mereka tidak
lagi mengabdi pada kepentingan praksis moral (how to run a good life), melainkan menjadi suatu dominasi rasio
instrumental.
Kritik teori kritis
terhadap masyarakat modern menghujam pada satu sasaran, yakni rasio
instrumental. Rasio instrumental adalah rasio yang melihat realitas sebagai
potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total. Rasio
instrumental memandang realitas (alam maupun manusia) sebagai objek untuk
diklasifikasi, dikonseptualisasi, ditata secara efisien untuk tujuan apa pun
yang dianggap penting oleh kekuasaan.[16]
Rasio instrumental,
menurut Marcuse, telah mereduksi manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man), dimana semua aspek
kehidupan manusia, seni, agama, ilmu pengetahuan, dan bahasa, direduksi pada
kepentingan control teknis. Rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat
menjadi rasional, melainkan hanya menyembunyikan irasionalitas dengan kepentingan
menguasai (kehendak untuk berkuasa, Nietzsche).[17]
Masyarakat rasional
menurut teori kritis adalah masyarakat yang terbuka bagi nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan. Bekerjanya rasio
instrumental dalam masyarakat tidak pernah membawa kepada suatu rational ordering of society, melainkan
bentuk-bentuk fasisme (kapitalisme,
nazisme, dan komunisme).
Sebagai kesimpulan,
sasaran kritik teori kritis terhadap masyarakat modern adalah rasio
instrumental. Rasio instrumental telah menciptakan suatu sistem dominasi baru.
Menurut Horkhaimer, “dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, namun saat
ini indutrialisme dengan rasio teknokratisnya membendakan jiwa-jiwa.”
Demitologisasi yang menjadi proyek pencerahan (aufklarung) lewat rasionalisasi di segala bidang telah gagal karena
rasionalisme telah menjadi mitos baru.
G. Kebuntuan dan Revisi
Critical Theory
Kritik-kritik yang
dilancarkan teori kritis mengalami kebuntuan. Domonasi yang terjadi telah
demikian total, sehingga kritik-kritik terhadap kapitalisme bisa dikooptasi
oleh kapitalisme itu sendiri. Kritik-kritik terhadap dominasi kapitalisme
lanjut (spatkapitalismus) teori
kritis pun telah gagal mendorong praksis perubahan kualitatif masyarakat
modern. Hal ini mengundang usaha revisionis oleh seorang filsuf sosial bernama
Jurgen Hebarmas[18], kesalahan
teori kritis dikarenakan paradigma yang mereka anut masih paradigma Marx
Hegelian tentang kerja sebagai pembentukan eksistensi manusia. Teori kritis
gagal karena kapitalisme lanjut mampu dengan mudah meredam kritik-kritik mereka
dengan menyediakan apa-apa yang mereka kritisi. Paradigma kerja yang
menciptakan situasi subjek-objek juga tercermin dalam kepentingan emansipasi
yang tidak tetap berpusat pada subjek (para pemikir Frankfrut) dan menempatkan
masyarakat kapitalisme lanjut sebagai objek emansipasi. Hal-hal tersebut
membuat mereka generasi pertama aliran Frankfrut) pesimis akan adanya secercah
harapan untuk keluar dari sistem dominasi yang total tersebut.
Hebarmas masih melihat
adanya secercah harapan untuk keluar dari domonasi total. Satu-satunya adalah
melepaskan paradigma kerja yang dianut teori kritis generasi pertama dan mulai
memperhatikan paradigma komunikasi. Komunikasi dan kerja adalah dua proses yang
membentuk masyarakat dimana yang satu tidak bisa direduksi pada yang lain.
Teori kritis generasi pertama yang masih berparadigma kerja telah gagal
melanjutkan proyek pencerahan untuk mencapai masyarakat yang terbuka bagi
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan.
Dalam paradigma
komunikasi, situasi subjek objek bias dihindarkan. Komunikasi mengandaikan dua
hal : Pertama, manusia berhadapan
satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat, komunikasi
berlainan dengan bekerja karena tidak menciptakan situasi subjek-objek. Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap
maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dapat dipaksakan.
Komunikasi merupakan karakteristik universal manusia. Habermas mengembangkan
apa yang disebutmya ‘universal pragmatic
analisys’ untuk menganalisa kondisi-kondisi bagi situasi ideal komunikasi (ideal speech situation). Tujuan universal pragmatic adalah menjadi
rekonstruksi rasional dari struktur ganda yang terdapat dalam ujaran: muatan kognitif
dan illocutionary act. Setiap ujaran
tidak hanya semata-mata berfungsi informative,
tetapi juga imperative (force).
Teori kritis Hebarmas
tidak lagi memfokuskan diri pada tindakan rasional bertujuan, melainkan pada
tindakan komunikasi alias bahasa. Masyarakat rasional yang diidealkan Habermas
bukan lagi masyarakat tanpa kelas dimana hubungan kerja tidak lagi represif,
melainkan masyarakat rasional dimana komunikasi berjalan sehat, dialogis, dan
tidak distortif. Keseriusan Habermas untuk mewujudkan masyarakat
terbuka-dialogis terbukti dengan diterbitkannya dua volume bukunya : “Theory Of Communicative Action”[19].
H. Implikasi dalam Ilmu/Teori dan Metodologi
Implikasi dalam
paradigma critical theory menerangkan bahwa teori kritis berangkat dari
fenomena atau realitas sosial yang ada berdasarkan idealisme. Implikasi
kritikal dapat di lihat dalam Cultural Studies (studi tentang budaya),
dan studi tentang feminisme. Tujuan penelitian dengan pendekatan kritis sosial,
emansipasi, transformatif, dan penguatan sosial. Pada paradigma ini posisi
peneliti yaitu menempatkan diri sebagai aktivis, advokat, dan transformasi
intelektual. Nilai, etika, pilihan moral bahkan keberpihakan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari analisis. Cara penelitian adalah subjektif, dimana
titik perhatian analisis justru terdapat pada penafsiran subjektif peneliti
atas teks. Partisipasif yaitu mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual,
dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai
aktivis atau partisipan dalam transformasi sosial Kriteria kualitas
penelitian pada paradigma kritikal yaitu Historical Situadness, sejauh
mana penelitian mamperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi, dan
politik dari teks media.[20]
I.
Pandangan Kritis Terhadap Critical Theory
Teori kritis pada masa
Jurgen Habermas disatu sisi secara ideal menawarkan demokratisasi opini publik
dalam menuju rasionalitas komunikatif.
Dalam masyarakat modern hal tersebut secara sederhana bisa diterima sebagai
upaya dalam memperoleh kesetaraan melalui proses dialog dan diskursus sehingga
pada satu titik menghasilkan juga konsep baru seperti demokrasi deliberatif. Akan tetapi dalam realitasnya ternyata tidak
semudah itu. Ada
beberapa argumen keberatan yang menjadi kritik terhadap teori kritis yang
diusung oleh Habermas. Pertama, dalam
masyarakat modern seperti sekarang ini, proses komunikasi sudah berjalan dalam
ranah hiperealitas sehingga bentuk rasionalitas komunikatif yang
dibayangkan Habermas menjadi sulit diwujudkan. Masyarakat mampu bertindak
irasional karena anonimitas yang
terjadi dan identitas ditengah ruang publik menjadi sesuatu yang bersifat semu.
Dalam model seperti ini yang terjadi adalah pemiskinan imajinasi sehingga
sangat sulit untuk bisa menjadi rasional dan obyektif.
Kedua adalah, ruang publik dalam
pemahaman masyarakat modern adalah ajang diskursus yang setara dan dialogis.
Pada kenyataannya dialog yang terjadi didalam ruang publik yang nyata adalah
sesuatu yang tidak setara dan tidak juga bersifat dialogis. Ini terjadi tidak
saja di negara-negara berkembang melainkan juga di negara maju. Dominasi yang
dibayangkan oleh generasi pertama teori kritis rupanya masih tetap terjadi.
Alhasil, proses dialog yang macet menyebabkan publik tidak lagi memanfaatkan
ruangnya secara nyata. Kemajuan teknologi seperti internet dan komunikasi
virtual menjadi katarsis publik dalam
menggelombangkan wacananya sebagai pembentukan opini yang tidak lagi bersifat
dialogis tetapi menjadi tandingan terhadap kekuasaan.
Ketiga adalah, dengan demikian faktor
teknologi yang menyebabkan pesimisme
akan ketergantungan manusia terhadap sarana-sarana ekonomi seperti yang
dibayangkan oleh generasi pertama teori kritis juga masih tetap terjadi. Disini
dapat dilihat bahwa apa yang dikemukakan oleh Habermas masih belum dapat
memberikan alternatif jawaban yang memuaskan mengingat perkembangan teori
kritis masih harus berkompetisi dengan realitas masyarakat, terutama dari aspek
kemajuan teknologi, perubahan dimensi ruang publik dan juga harapan terhadap rasionalitas komunikatif yang ideal bagi
manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi jelas memberi kontribusi berupa
akselerasi penerimaan dan juga cara manusia mengekspresikan kehendaknya. Ruang
publik tidak lagi semata berkutat kepada masalah penggunaannya yang ideal
tetapi juga bagaimana pergeseran dimensi dari sesuatu yang bersifat fisik
menuju dunia maya juga menjadikan rasionalitas sebagai faktor yang tidak lagi
dengan mudah dapat diperhitungkan. Sementara
rasionalitas komunikatif yang dibayangkan Habermas dengan demikian menjadi
jauh untuk bisa direalisasikan dengan mudah[21].
J.
Penutup
Kata kunci untuk paradigma critical theory adalah idealisme, dimana teori kritis selalu curiga dan mempertanyakan kondisi ”status
quo” di masyarakat. Teori kritis memandang bahwa realitas
sosial yang tampak baik dipermukaan adalah sesuatu yang semu, karena setiap
realitas yang ada, terdapat unsur kepentingan kaum dominan
dibelakangnya, dan pada akhirnya bertujuan untuk
memanipulasi kenyataan yang ada pada realitas sosial di masyarakat.
Critical theory tidak
melihat dirinya hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan
menyatukan dirinya dengan kekuatan 'progresif'
yang berkeinginan untuk 'menyatakan kebenaran'. Ketika lahirnya teori kritis,
filsafat dialektika yang diterapkan Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah
merupakan imajinasi dealiktis belaka. Oleh sebab itu, teori kritis menolak
memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari
pada tindakan.
Dengan membaca sejarah
mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan
diperoleh adalah tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada
kebenaran bagi seorang cendikiawan. Tak kurang dari itu, akan disadari pula
betapa pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembleng seseorang hingga
menjadi cendikia-cendikia.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran kontemporer : Sebuah pengantar komprehensif, Yogyakarta : Jalasutra, 2005.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat
Ilmu Komunikasi, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Fay, Brian Terj. Budi Murdono, Teori
Sosial & Praktek Politik, Jakarta:
Grafiti, 1991.
Hardiman, Francisco
Budi. Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi Dialektis dalam perkembangan Teori
Kritis, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005.
Mashfufah, Amdya, Teori Kritis (Critical Theory), http://deedde.wordpress.com/2010/12
/17/teori-kritis-critical-theory/
Manurung, Hendra, Critical Theory, http://www.scribd.com/doc/4542836/
Critical-Theory
Muslih, Mohammad, Filsafat
Ilmu ; Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta : Belukar, 2004.
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 1996.
Suseno, Frans Magnis. Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992,
---------- Ringkasan Sejarah Marxisme
dan Komunisme. Jakarta:
Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara, 1977.
Suhartono, Suparlan. Dasar-Dasar Filsafat, Yogyakarta :
R-Ruzz Media group, 2008.
Srivanto, Fernando Rahadian, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal Mula Teori
Kritis HinggaHabermas,http://scribd.asterpix.com/cy/2437661/?q=Filsafat+Ilmu+Critical+Theory
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia
Rasional. Kritik Masyarakat Modern
oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Franfurt. Jakarta: Gramedia, 1983.
[1] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer: Sebuah pengantar komprehensif, (Yogyakarta : Jalasutra, 2005), 43.
[2] Latar belakang sejarah inilah yang
menyatukan mereka ke dalam sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian
mengkristal menjadi sebuah mazhab, yakni Mazhab Frankfurt. Lihat, Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi
Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis, (Yogyakarta
: Kreasi Wacana, 2005), 57.
[3] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer, 46.
[4] Teori tradisional membangun konsep-konsep
umum mengenai semua hal, sebagaimana nampak dalam tujuannya yang diformulasikan
a universal systematic science.Teori tradisional bersifat netral,
teori tradisional tidak bermaksud mempengaruhi fakta yang hadir dihadapannya,
sebab ia memang memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta
lahiriah apa adanya. Horkheimer melalui teori memandang bahwa ke-netral-an
teori tradisional sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada. Lihat:
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik Masya-rakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah
Franfurt. (Jakarta: Gramedia, 1983), 73.
[5] Immanuel Kant, seorang filsuf kebanggann
Jerman (1724-1804), mencoba mengatasi pertikian antara rasionalisme dan
empirisme. Lihat, Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar
Filsafat, (Yogyakarta : R-Ruzz Media
group, 2008), 113.
[6] Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran kontemporer, 47.
[7] Teori kritis memang diilhami filsafat
kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik
ideology. Lihat: Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan. (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 10.
[8] Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa teori
kritis kebenarannya sangat tergantung bagaimana diterjemahkan dalam
praktek. Lihat: Brian Fay, Terj. Budi Murdono, Teori Sosial & Praktek
Politik, (Jakarta: Grafiti, 1991), 108.
[9] Bukan kebutuhan nyata manusia yang menentukan proses produksi,
melainkan kebutuh-an sendiri diciptakan supaya hasil produksi bisa laku atau
produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia
diciptakan, dimanipulasi demi produksi. Lihat: Frans Magnis Suseno, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius 1992),166.
[10] Mengenai bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu
pengetahuan dapat berkembang atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan
fundamental yang ada di dalamnya. Lihat: Ibid., 183.
[11] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran kontemporer, 45.
[12] Teori kritis bersifat aktif dalam
menciptakan makna, bukan hanya sekedar pasif menerima makna atas dasar perannya
pada teori konfli. Lihat: Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat
Ilmu Komunikasi, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), 82.
[13] Menurut Marx, ideologi itu
adalah ilusi atau kesadaran yang palsu. Ideologi tidak menggambarkan situasi nyata mnusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan
kenyataan yang terdistorsi. Bukan artinya bahwa ideologi
keliru menggambarkan kenyataan, tapi bahwa ideologi menggambarkan kenyataan dan interpretasi yang dibalik. Apa yang tidak baik dan tidak
wajar dikatakan dan diusahakan sedemikian rupa sehingga
tampak baik dan wajar. . Lihat, Fernando Rahadian
Srivanto, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal mula teori kritis hingga habermas, http://scribd.asterpix.com
/cy/2437661/?q=Filsafat+ Ilmu+Critical+Theory
[14] Ideologi itu berusaha memanipulasi
kenyataan yang ada atau realitas sosial yang ada di masyarakat Elvinaro
Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, 85.
[15] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, 51-54.
[16] Ibid., 54.
[17] Pandangan manusia satu
dimensi ini lebih banyak direfleksikan oleh Herbert Marcuse. Menurutnya,
masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat satu dimensi
bersifat represif dan totaliter. Artinya manusia modern tidak bisa lepas dari
penguasaan kapitalisme dan peraturan logika kapitalistik. Lihat: Manurung Hendra,
http://scribd.asterpix.com/cy/2437661 /?q=Filsafat+Ilmu+Critical+
Theory
[18] Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan
manusia didasar-kan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan
teknis, yaitu untuk menguasai alam. Kedua, kepentingan praktis, untuk
berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang
segala paksaan. Lihat: Frans Magnis Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan
Komunisme. (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara, 1977), 123.
[19] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, 59-60.
[20] Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat
Ilmu Komunikasi, 177.
[21] Fernando Rahadian Srivanto, Pemikiran Mazhab Frankfurt: Awal Mula Teori
Kritis Hingga Habermas, http://scribd.asterpix.com/cy/2437661/?q=Filsafat+Ilmu+Critical+Theory
Tidak ada komentar:
Posting Komentar